Selamat Datang di Website Kecamatan Wongsorejo.. Salam Sukses... Semoga Hari Ini Lebih Baik dari hari Kemarin... by: Admin

Minggu, 13 Oktober 2013

Sorghum


::: SORGUM :::

Sorgum merupakan tanaman serealia potensial untuk dikembangkan untuk menunjang program ketahanan pangan dan agribisnis mengingat daya adaptasinya yang luas serta kebutuhan airnya rendah. 

Sorgum merupakan komoditas biji-bijian penting keempat setelah gandum, padi dan jagung. Sebagai bahan pangan, sorgum ditepungkan untuk bahan roti, kue serta bubur. Di Indonesia, sorgum dimasak untuk campuran beras, atau dikukus sebagai nasi sorgum. Potensi sorgum untuk industri pakan ternak (pengganti jagung) juga cukup tinggi. Dalam industri playwood dan kertas, sorgum berpotensi menggantikan terigu sebagai bahan perekat (lem). Namun selama ini penggunaan sorgum yang paling banyak adalah untuk industri minuman. Baik minuman tak beralkohol (softdrink), beralkohol rendah (bir) maupun beralkohol tinggi (wisky/arak). Selama ini popularitas sorgum di kalangan petani, tidak hanya kalah dibanding komoditas padi dan jagung, melainkan juga berada di bawah singkong, ubi jalar, bahkan juga keladi. Produktivitas sorgum rata-rata di tingkat petani kita hanya sekitar 1 ton per hektar per musim tanam. Hasil ini kalah dibanding padi yang rata-rata mencapai 4 ton per hektar dan jagung hibrida yang mampu berproduksi sampai 8 ton per hektar per musim tanam. Rata-rata umur panen sorgum mencapai 4 bulan semenjak tanam. Varietas keris dari Bangladesh yang genjah, umur panennya hanya 80 hari, lebih pendek dari umur jagung dan padi.
Foto oleh Alvi Asy Syauqy
Komoditas sorgum berasal dari benua afrika. Di sini sorgum dikenal dengan nama surgo, millet, durra dan kafir dengan varietas cokelat (merah) dan putih.  Komoditas ini mulai mendunia  sejak akhir tahun 1980an. Belanda membawa sorgum ke Indonesia tahun 1925. Di Jawa, sorgum dikenal dengan nama cantel, otek dan jagung cantrik. Meskipun sudah masuk ke Indonesia sejak jaman pemerintah kolonial, namun sorgum baru mulai berkembang baik sekitar tahun 1970an. Sebab, ketika tahun 1960an Indonesia kekurangan pangan (beras), maka pemerintah mulai agak serius mengembangkan komoditas ini. Hasilnya baru bisa kelihatan sekitar tahun 1970an, dengan dikenalnya varietas-varietas unggul. Baik yang berkulit cokelat maupun putih. Namun dengan membaiknya perekonomian Indonesia setelah tahun 1970an, maka komoditas sorgum kembali dilupakan. Budidayanya hanya dilakukan oleh masyarakat secara terbatas untuk kebutuhan sendiri. Perdagangan biji sorgum justru marak dengan berkembangnya hobi memelihara burung perkutut dan burung ocehan lainnya. Sorgum dan jewawut (Setaria italica) menjadi komoditas penting sebagai pakan burung piaraan. Namun lama-kelamaan masyarakat mulai menyadari, bahwa potensi sorgum sebagai komoditas pangan dan bahan industri sungguh sangat besar.
Foto oleh Alvi Asy Syauqy
Sorgum  (Sorghum bicolor, Andropogon sorghum, Holchus sorghum, dan Sorghum vulgare) termasuk keluarga rumput-rumputan seperti halnya padi, jagung, gandum dan tebu. Batang sorgum beruas-ruas mirip tebu, namun berukuran lebih kecil dengan diameter 2 cm. Tinggi tanaman varietas lama, bisa mencapai 2,5 m. Namun varietas-varietas baru yang lebih unggul, hanya bisa setinggi 1,5m. Daun sorgum berbentuk pita, mirip dengan daun jagung maupun daun tebu. Malai tumbuh pada ujung tanaman seperti halnya padi. Biji sorgum juga terdapat dalam kulit biji yang keras (sekam), lebih keras dari sekam padi. Sorgum bisa dibudidayakan di kawasan beriklim tropis, munson, sabana, gurun sampai ke kawasan sub tropis. Di Indonesia, sorgum bisa dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai dengan ketinggian sekitar 700 m. dpl. Salah satu kelebihan sorgum dibanding dengan padi dan jagung adalah, ia tahan kekeringan. Hingga komoditas ini cocok untuk dikembangkan di kawasan pantura Jabar/Jateng, Jatim, Bali Utara, NTB, NTT dan Sulsel serta Sultra. Kawasan-kawasan tersebut selama ini dikenal dengan iklimnya  yang sangat kering.
Kendala utama pengembagan sorgum di masyarakat adalah, sulitnya mengolah malai dan gabah menjadi "beras sorgum". Upaya perontokan dan penumbukan secara tradisional, maupun dengan mesin penggiling padi, menghasilkan beras sorgum yang masih belum bersih dari kulit. Akibatnya, apabila dilakukan penepungan, kulit biji akan terikut. Mutu tepung demikian sangat jelek karena kalau dimasak akan menghasilkan rasa pahit atau sepet akibat masih terikutnya zat tanin pada kulit biji. Akhir-akhir ini sudah ditemukan varietas sorgum yang kulit bijinya mudah mengelupas, selain telah ditemukan pula teknologi penyosohan hingga bisa diperoleh mutu beras sorgum  yang lebih baik. Salah satu teknik penyosohan yang sekarang banyak digunakan petani adalah abrasive mill, yakni alat penyosoh biasa, namun silindernya berupa gerinda. Dengan teknik ini kulit ari biji sorgum yang terkenal keras dan kuat dapan dikikis hingga bisa diperoleh beras sorgum yang benr-benar bersih. Agar waktu proses penggilingan biji sorgum tidak hancur, maka tingkat kekeringan biji harus mencapai kadar air antara 10 sd. 12 %. Pada beras dan jagung, kadar air ini cukup antara 14 sd. 15 %.
Sorgum yang dikembangkan di Indonesia, umumnya tipe biji untuk bahan pangan manusia. Bukan untuk pakan ternak dan lem maupun untuk industri minuman. Sorgum biji sebagai bahan pangan manusia, masih bisa dibedakan menjadi tipe beras biasa (non waxy) dan tipe ketan (waxy). Dua tipe ini sama-sama dikembangkan masyarakat untuk tujuan bahan pangan. Pengembangan sorgum biji untuk bahan pangan ini, di satu pihak sangat positif sebab masyarakat telah mampu mengatasi ketergantungan mereka terhadap beras dan gandum (berupa mie dan roti). Namun di lain pihak, penanaman sorgum biji untuk bahan pangan ini cenderung memperkokoh pola pertanian subsisten. Artinya, para petani membudidayakan satu komoditas, karena mampu mengkonsumsi sendiri komoditas tersebut. Hingga hasil rata-rata hanya 1 ton per hektar per musim tanam seperti yang selama ini mereka alami pun, mereka terima dengan wajar. Padahal, dengan harga biji sorgum (gabah) di bawah harga jagung pipil, dengan hasil 1 ton per hektar per musim tanam, dengan biaya olah tanah dll. yang mirip dengan jagung, maka petani sangat dirugikan.
Foto oleh Alvi Asy syauqy
Sebab biaya olah lahan, benih, penanaman, pemanenan dan perontokan, pasti sudah di atas Rp 1.000.000,- per hektar per musim tanam. Dengan harga gabah sorgum sama dengan jagung pipil Rp 800,- per kg. pun, pendapatan kotor petani dari 1 ton hasil hanyalah Rp 800.000,- Hingga sebenarnya petani mengalami kerugian paling sedikit Rp 200.000,- per hektar per musim tanam. Meskipun secara finansial, sebenarnya mereka tidak mengalami kerugian apapun. Benih merupakan hasil panen terdahulu, tenaga kerja merupakan tenaga mereka sendiri dan hasilnya pun mereka konsumsi sendiri, minimal dipasarkan di lingkungan dekat mereka. Padahal, pola pengadaan pangan demikian secara ekonomis merugikan para petani tersebut, juga merugikan perekonomian nasional. Sebab dengan pola budidaya yang ada, dengan perubahan benih dan tambahan modal untuk pupuk, para petani tersebut dapat menghasilkan biji sorgum untuk substitusi gandum, industri pakan ternak, lem dan industri minuman.
Industri pakan ternak barangkali agak sulit untuk ditembus oleh sorgum. Sebab reputasi jagung dan tepung gaplek dalam penyediaan kalori dengan harga murah, sampai saat ini belum tertandingi oleh komoditas apapun. Namun industri lem yang menyerap tepung terigu cukup besar, bisa disusbtitusi oleh sorgum. Demikian pula dengan industri mie dan roti yang juga berpeluang untuk disubstitusi sorgum. Namun untuk itu petani dituntut menghasilkan tepung dengan kualitas baik dan kuantitasnya pun minimal 3 ton biji per hektar per musim tanam. Salah satu peluang yang sampai saat ini belum termanfatkan adalah budidaya sorgum untuk keperluan industri minuman. Baik soft drink yang non alkohol, minuman beralkohol ringan (bir) maupun minuman beralkohol tinggi (arak, wisky). Semua industri tersebut selama ini memanfaatkan biji-bijian, terutama barley dan millet. Namun di Afrika, benua tempat asal-usul sorgum, pembuatan minuman ringan, beralkohol rendah maupun tinggi berbahan sorgum sudah biasa dilakukan.         
Industri minuman ringan berbahan sorgum, umumnya hanya memanfaatkan tepung sorgum putih maupun merah yang dicampur air dan difermentasikan, tanpa membentuk alkohol. Minuman demikian aroma serta rasanya mirip dengan air tapai. Prinsipnya hanya mengubah karbohidrat menjadi gula melalui proses fermentasi. Minuman beralkohol ringan maupun berat, biasanya diproduksi dengan memfermentasikan tepung digabung dengan mengkecambahkan biji, mengeringkannya, dan menggiling hingga membentuk malt. Selanjutnya malt direndam dan dengan bantuan kapang yeast difermentasikan hingga membentuk alkohol. Biasanya fermentasi ini dilanjutkan dengan penggabungan hasil fermentasi malt dengan fermentasi tepung. Selama ini industri bir nasional kita, masih mengandalkan malt dan hops impor. Sementara industri minuman rakyat yang dijual di terminal, stasiun dan warung-warung, masih belum memanfaatkan teknologi fermentasi pembentuk gula maupun alkohol dengan cukup higienis.
Dengan pola pengembangan sorgum untuk keperluan substitusi gandum maupun industri minuman, maka proses pemiskinan petani tidak akan terus berkepanjangan. Sebab dengan membiarkan para petani tetap membudidayakan sorgum hanya untuk dikonsumsi sendiri, sebenarnya pemerintah dan kalangan terdidik Indonesia telah membiarkan proses pemiskinan petani itu terus berlanjut. Untuk itu memang diperlukan adanya kalangan enterpreuneur yang bersedia untuk berkorban masuk ke sektor agro, dengan perhitungan yang cermat agar resiko yang dihadapi menjadi minimal. Sorgum adalah komoditas yang telah ribuan tahun menghidupi rakyat Afrika. Sekarang AS, Australia dan negara-negara maju lainnya telah memanfaatkan komoditas biji-bijian ini untuk memakmurkan rakyat mereka. Kawasan-kawasan kering yang ada di Banyuwangi utara tepatnya di Desa Bangsring Kecamatan Wongsorejo sudah mulai membudidayakan tanaman ini dan sudah berhasil mendapat dukungan langsung dari Mentri BUMN Dahlan Iskan.



2 komentar: